Rabu, 11 April 2012

Rumah Adat Sulawesi Tengah - Souraja


Rumah tinggal penduduk Sulawesi Tengah disebut 'tambi', yang merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat. Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangawan dengan rakyat biasa terletak pada bubungan rumah para bangsawan dipasang simbol kepala kerbau, sedangkan rumah rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut

Rumah tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat dari kayu bonati. Bentuk rumah ini segi empat dan bentuk atapnya piramida yang terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya. Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari 'pebaula' (berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan 'bati' (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik rumah. Sedangkan ragam hias dengan motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari kulit kayu. Kain yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni rumah terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering dibuat sebagai ragam hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru atau hijau.
Anjungan Sulawesi Tengah menyajikan empat buah bangunan tradisional, yakni souraja, rumah adat bangsawan suku Kaili; rumah adat suku To Lobo (tambi) dari Lone Selatan, lumbung padi (gambiri), dan sebuah bangunan kantor merangkap gerai seni.

            Rumah souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang segiempat dari kayu; beratap bentuk piramide segitiga: bagian depan dan belakang ditutup dengan papan berukir (panapiri) serta pada ujung bubungan bagian depan dan belakang berhias mahkota berukir (bangko-bangko). Bangunan terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruang depan (lonta karawana) untuk menerima tamu dan untuk tidur tamu yang menginap; ruang tengah (lonta tatangana) untuk tamu keluarga; serta ruang belakang (lonta rorana), untuk ruang makan, meskipun kadang-kadang ruang makan berada di lonta tatangana. Tempat tidur perempuan dan anak gadis berada di pojok belakang lonta rorana. Dapur (avu), sumur, dan jamban berada di belakang sebagai bangunan tambahan yang dihubungkan melalui hambate, yang berarti jembatan, ke rumah induk. Rumah souraja di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan sebagai tempat pameran dan peragaan berbagai aspek budaya: lonta tatangana sebagai ruang pamer berbagai busana daerah serta pasangan pengantin Kaili lengkap dengan pengiringnya; lontana rorana dipergunakan sebgai tempat peragaan ruang tidur keluarga; dan avu dimanfaatkan sebagai ruang peragaan pembuatan kain sarung Donggala.

            Rumah tambi berbentuk segi empat dengan atap menyerupai piramida memanjang dan curam yang sekaligus sebagai dinding rumah. Badan rumah dan atap ditopang tiga atau lima susun balok kayu bulat sebagai gelagar dan diletakkan di atas tiang-tiang batu cadas lonjong yang ditanam di dalam tanah. Hanya ada satu pintu, terletak di samping kiri bagian depan rumah. Ruangan dalam rumah (lobana) tanpa kamar. Di tengah lobana terdapat dapur (rapu), di atasnya diletakkan para-para yang ditopang empat buah tiang. Selain untuk tempat memasak, rapu juga menjadi sumber cahaya dan pemanas di waktu malam atau musim dingin. Ruangan kosong di sekitar dapur dipergunakan untuk ruang makan, ruang tidur, dan untuk menerima tamu keluarga. Daun pintu dihias ukiran kepala kerbau, sedang di tiang-tiang ke bubungan tergantung tanduk kerbau berbagai ukuran yang disusun berurut ke atas mulai yang paling besar dan panjang. Tambi di Anjungan Sulawesi Tengah dipergunakan untuk peragaan pembuatan kain dan kulit kayu haili atau kantevu yang sampai sekarang masih dipakai oleh suku Kulawi. Di sebelah utara tambi dibangun sebuah duhungan atau lobo yang aslinya hingga sekarang masih dapat di temui di daerah Plana, Lone Selatan, suatu rumah panggung empat persegi panjang tanpa kamar dan berdinding separuh terbuka dengan lantai tiga tingkat. Duhungan atau lobo digunakan sebagai ruang upacara adat serta panggung seni pada hari-hari libur atau hari besar. Pergelaran seni berupa tarian tradisional Sulawesi Tengah, seperti tari dero, yakni jenis tari pengantar yang memberi kesempatan kepada para penonton untuk ikut menari bersama-sama.

     Dua buah patung tiruan Tadulako dan Langkae Bulava merupakan peninggalan prasejarah yang banyak berserakan di daerah Los Selatan. Tadulako menggambarkan seorang ayah yang tampan dan gagah perkasa, sedangkan Langke Bulova melambangkan seorang ibu yang cantik. Anjungan Sulawesi Tengah pernah dikunjungi tamu-tamu negara, antara lain Istri Perdana Menteri Luxemburg, Ny.Gaston Thorn, tahun 1978 dan 1984.

A. Selayang Pandang
             Banua Mbaso atau lazim dikenal dengan Sou Raja berarti rumah besar atau rumah raja. Banua Mbaso ini merupakan rumah tradisional masyarakat Sulawesi Tengah yang diwariskan oleh keluarga bangsawan suku-bangsa Kaili. Rumah jenis ini pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Rumah ini merupakan rumah kediaman tidak resmi bagi manggan atau raja beserta keluarganya, terutama yang tinggal di daerah pantai dan kota. Rumah sejenis ini dapat ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Banua Mbaso yang dibangun oleh Raja Palu yang usianya ratusan tahun tersebut, hingga saat ini masih terawat dengan baik.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan, yaitu:
  • Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu. Sebelum ada meja dan kursi, di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar). Ruangan ini juga berfungsi sebagai tempat tidur para tamu yang menginap.
  • Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
  • Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan  ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis agar mudah diawasi oleh orang tua.
            Untuk urang avu (ruang dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan atau ruangan lain di bagian belakang yang terpisah dengan bangunan utama. Untuk menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke. Di jembatan beratap ini, biasanya dibuatkan pekuntu, yakni ruang terbuka untuk berangin-angin. Di kolong bangunan utama, biasanya dijadikan sebagai ruang kerja untuk pertukangan atau tempat beristirahat di siang hari. Sementara loteng rumah dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka dan lain-lain.
B. Keistimewaan
              Bangunan Banua Mbaso memiliki arsitektur yang cukup unik dan artistik. Uniknya, rumah ini berbentuk panggung yang merupakan perpaduan antara arsitektur rumah adat (Bugis) di Sulawesi Selatan dan rumah adat di Kalimantan Selatan. Bangunan rumah ini ditopang oleh sejumlah tiang kayu balok persegi empat dari kayu-kayu pilihan yang berkualitas tinggi, seperti kayu ulin, bayan, atau sejenisnya, sehingga bangunan rumah ini dapat bertahan sampai ratusan tahun. Atap bangunan ini berbentuk piramida segitiga yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut dengan panapiri. Menariknya lagi, pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir yang disebut dengan bangko-bangko.
              Bangunan Banua Mbaso ini tampak lebih artistik, karena hampir semua bagian bangunan ini diberi hiasan berupa kaligrafi Arab dan ukiran dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Hiasan-hiasan tersebut terdapat pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, dinding-dinding bangunan, loteng, ruang depan, pinggiran cucuran atap, papanini, dan bangko-bangko. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.
C. Lokasi
Untuk menyaksikan keunikan dan keartistikan Banua Mbaso peninggalan Raja Palu, para wisatawan dapat datang ke Kelurahan Lere atau lebih dikenal Kampung Lere, di Kota Palu. Sebagai informasi, Kampung Lere ini merupakan pusat Kerajaan Palu di masa lalu (abad XVII – XX). Selain di       Kota Palu, para wisatawan juga dapat menyaksikan rumah tradisional Palu di beberapa daerah di Sulawesi Tengah, seperti di Kecamatan Sigi Biromaru dan Tawaeili (Kabupaten Donggala) dan di Kabupaten Parigi.
D. Akses
Untuk mencapai Kampung Lere atau Kelurahan Lere tidaklah sulit, karena kampung ini termasuk ke dalam wilayah Kota Palu. Para wisatawan dapat menggunakan angkutan umum berupa bus dan taksi yang setiap hari beroperasi di Kota Palu. Sementara Kabupaten Donggala yang terletak sekitar 15 km di sebelah Timur Kota Palu dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat sekitar 30 – 40 menit.
E. Biaya Tiket Masuk
Masih dalam proses konfirmasi.
F. Akomodasi dan Fasilitas
Di Kota Palu tersedia banyak fasilitas, seperti: hotel, wisma, penginapan, restoran, dan rumah makan. 


GAMBAR RUMAH ADAT SOURAJA
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar